Action Learning dalam Pendidikan

Wawasan Edukasi - Dunia pendidikan di Indonesia saat ini tengah mengalami krisis yang cukup serius terutama pada pembentukan karakter. Krisis ini tidak saja disebabkan oleh anggaran pemerintah yang sangat rendah untuk membiayai kebutuhan vital dunia pendidikan di Indonesia, tetapi juga lemahnya tenaga ahli, visi serta politik pendidikan nasional yang tidak jelas. Sisi lain dari kritik tersebut sedikitnya menggambarkan bahwa proses pendidikan pada jenjang pra-universitas kurang sekali memberi tekanan pada pembentukan watak atau karakter, tetapi lebih pada hafalan dan pemahaman kognitif. Akibatnya, ketika mereka masuk dunia perguruan tinggi, mental akademik dan kemandirian belum terbentuk.

Menurut Sen (1999), tolak ukur keberhasilan politik, ekonomi maupun pendidikan adalah seberapa jauh semua usaha itu bisa memberikan ruang dan fasilitas yang lebih luas bagi internalisasi kepribadian dan kebebasan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasio-nal berfungsi menginternalisasikan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdask-an kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembang-nya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sesuai pernyataan tersebut, maka proses dan hasil pembangunan dinilai gagal jika tidak bisa meningkatkan harkat serta martabat manusia.


Menghadapi kenyataan tersebut, dunia pendidikan harus bisa berperan aktif menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan, baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Dunia pendidikan, siswa tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu mengelola diri serta menerapkannya dalam kehidupan sosial. Tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah/kuliah, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam suatu proses pendidikan itu harus bisa menanamkan ciri-ciri, watak, serta jiwa peduli, mandiri, tanggung jawab dan cakap dalam kehidupan.

Pada skala mikro, internalisasi karakter berpusat pada sekolah dan dibagi dalam empat pilar, yaitu kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembang-an budaya satuan pendidikan formal dan nonformal, kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan kokurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat (Wiyani, 2012). Oleh karena itu, internalisasi karakter bisa dimulai dari kegiatan belajar-mengajar di kelas. Internalisai karakter melalui kegiatan belajar-mengajar di kelas harus menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai dan tepat sehingga dapat memunculkan karakter siswa.

Salah satu cara untuk meng-atasi masalah yang telah dikemukakan di atas yaitu dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif. Strategi pembelajaran aktif yang dapat digunakan salah satunya dengan menggunakan strategi pembelajaran Action Learning. Menurut Komaruddin Hidayat Action learning adalah belajar sekaligus bertindak memberi siswa kesempatan untuk mengalami penerapan topik dan isi materi yang dipelajari atau didiskusikan dalam kelas dalam situasi kehidupan sesungguhnya. sebuah proyek luar kelas menghadap kan mereka untuk menjadi kreatif dalam bertukar pendapat tentang penemuan mereka dengan sesama siswa.

Jadi, Action learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang memusakatkan pada kegiatan belajar siswa dari pada aktivitas mengajar guru. Dalam pembelajaran guru memberi siswa kesempatan untuk mengalami penerapan topik dan isi materi yang dipelajari atau didiskusikan dalam kelas dalam situasi kehidupan yang sesungguhnya. Dalam metode ini guru berupaya mengajak peserta didik untuk berdialog dalam menyelesaikan masalah, namun guru tetap perlu menggunakan monolog dalam menerangkan pokok materi. Akan tetapi dialog dengan peserta didik tetap menjadi metode yang dominan, karena peserta didik diajak untuk memecahkan suatu masalah kemudian menganalisa dan membimbing untuk menarik kesimpulan dari masalah yang sedang dibahas.

Sinergi Positif dan Negatif Sistem Informasi dan Strategi Pendidikan
Sinergi Negatif dan positif antara sistem infomasi dengan strategi lembaga pendidikan. Pada gambaran pertama, sistem informasi tidak mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pihak manajemen lembaga pendidikan dalam proses pembuatan keputusan karna tidak didukung oleh sistem informasi yang ada, dalam konsep sistem informasi pendidikan untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan akan membawa dampak terhadap strategi lembaga pendidikan, dampak yang dihasilkan adalah strategi lembaga pendidikan yang meragukan pengambil keputusan karna disusun berdarkan informasi yang terbatas dan ini lah sinergi negatif yang dihasilkan. 

Sedangkan sinergi negatif adalah sinergi antar sistem informasi yang disajikan dengan baik serta pemahaman strategi lembaga pendidikan yang menandai. Keduanya akan menghasilkan sebuah strategi lembaga pendidikan yang baik dan bisa dipertanggung jawabkan. Secara sederhana kedua sinergi tersebut dapat di gambarkan dalam matriks berikut. 

a.    KUDADRAN II KUADRAN I
Masih dimungkinkan terjadinya sinergi positif tetapi harus ada upaya keras untuk mencari berbagai sumber informasi. Konsultan yang dibutuhkan adalah konsultan sistem infrmasi. Sinergi positif, kualitas sinergi lembaga pendidikan yang dihasilkan sangat baik dan dapat dipertanggung jawabkan, konsultan yang diperlukan sebagai second opinion.

b.    KUDADRAN III KUADRAN IV
Sinergi negative, kualitas sinergi pendidikan yang dihasilkan tidak baik dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Bantuan konsultan tidak banyak menolong kecuali untuk pembenaran lembaga pendidikan yang mendasar. Masih dimungkinkan terjadinya sinergi positif, misalnya dengan meminta jasa konsultan bidang pendidikan untuk memandu penyusunan strategi lembaga pendidikan. 

Pendekatan Human-Centered dalam Manajemen Pendidikan
Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Tidak terkecuali kemajuan ilmu pengetahuan dibidang pendidikan yang telah memunculkan konsep dan strategi baru. Konsep dan strategi baru ini kemudian di terapkan dalam praktik oleh lembaga pendidikan yang mempunyai peluang untuk memamfaatkan keampuan konsep dan strategi tersebut. Dalam praktiknya peranan suatu konsep dan strategi lembaga pendidikan biasanya memerlukan peranan konsep lainnya, baik karena sifatnya yang inheran maupun sebagai penunjang konsep strategi utamanya, selain itu, peranan salah satu konsep dan strategi yang ditetapkan dalam lembaga pendidikan akan berpengaruh pada keseluruhan sistem lembaga pendidikan tersebut.

Munculnya berbagai konsep dan strategi pada lembaga pendidikan, berkaitan dengan situasi ersaingan antar lembaga pendidikan yang ada, namun, munculnya fenomena persaingan tersebut dipicu oleh cepatnya perkembangan dan perubahan teknologi informasi yang semakin mutakhir. Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan banyak lembaga pendidikan menjadi bernilai karena nilai informasi yang dihasilkan memiliki arti strategis dalam pola pengembangan manajeman lembaga pendidikan. Dengan demikian, teknologi informasi akan menjadi keharusan dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan agar mampu mengembangkan pola pembelajaran yang lebih berkualitas dan memiliki nilai bagi pelanggannya.
Untuk mampu menguasi teknologi informasi yang optimal, sedikitnya diperlukan prasyarat umum yang meliputi kesiapan baik sunber daya manusia maupun sumber daya mineral. Kesiapan sumber daya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipenuhi karena bagi lembaga pendidikan harus mencari alternative tertentu yang peling menguntungkan dan tepat guna. Salah atu upaya tersebut, yaitu dengan strategi outsourcing teknologi informasi, yang merupakan strategi penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi oleh lembaga pendidikan mealalui pihak ketiga (ludigdo, 1997). Akan tetapi, strategi ini tidak selalu memberikan manfaat yang optimal dan mengandung sejumlah resiko sehingga digunakan strategi insourcing dalam pemanfaatan teknologi. 

Etika, Moral dan Hukum Teknologi Informasi
Menurut McLeod dalam Budi Sutedjo (2001:90) moral merupakan kebiasaan dalam memeprecayaai prilaku baik atau buruk. Sedangkan etika merupakan serangkaian petunjuk yang harus diikuti, memiliki standar atau idealism yang diterima oleh prorangan, kelompok, atau suatu komunitas teknologi informasi. 

Menurut james H. Moor dalam Budi Sutedjo (2001:208) etika tehnoligi informasi berperan sebagai alat analisis mengenai sifat dan dampak social teknologi informasi, serta formulasi dan justifikasi kebijakan untuk menggunakan teknologi informasi tersebut, etika digunakan untuk menganalisis sifat dan tampak social ekonimis yang ditimbulkan dari penggunaan tekonogi informasi dan usaha-usaha untuk menerima dan menghargai semua kegiatan yang mengarah kepada pengoprasian dan peningkatan leyanan teknologi informasi, serta upaya untuk menghindari atau mengecah hal-hal yang mengancam, merusak, dan mematikan kegiatan teknologi informasi secara langsung atau tidak langsung. 

Hukum merupakan aturan formal tentang prilaku, wewenang, atau kekuasaan pemerintahan yang menentukan subjek atau kewarganegaraan. Setelah membahas moral, etika dan hukum kaitannya dengan teknologi informasi yang digunakan dalam tatanan organisasi harus memenuhi tiga criteria tesebut, yaitu secra moral, etika dan hukum yang berlaku, teknologi infromasi yang di gunakan dalam sebuah organisasi merupakan petunjuk bagi seorang pemimpin dan bawahannya yang harus memiliki nilai moral, etika, informasi khusus, serta sebgai bentuk aplikasi penegakan hukm. Kebutuhan kan budaya etika snagt dibutuhkan terutama dalam pola hubungan antar pimpinan dengan lembaga pendidikannya. Dalam menanamkan budaya etika, ada tiga bentuk implementasi yang harus diperhatikan:
  1. Membentuk paham etika lembaga pendidikan (educational institution credo).
  2. Untuk mempalsilitasi atasan dan bawahan yang terlibat dalam lembaga pendidikan dalam memahami organisasi pendidikan tersebut.
  3. Menggunakan kode etik lembaga pendidikan tersendiri atau beradaptasi dengan kode etik yang dibuat oleh lembaga profesi dibidang pendidikan, misalnya kode etik guru dan kode etik kepala sekolah.
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini tengah mengalami krisis yang cukup serius terutama pada pembentukan karakter. Salah satu cara untuk meng-atasi masalah yang telah dikemukakan di atas yaitu dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif. Strategi pembelajaran aktif yang dapat digunakan salah satunya dengan menggunakan strategi pembelajaran Action Learning.

Sinergi Negatif dan positif antara sistem infomasi dengan strategi lembaga pendidikan. Pada gambaran pertama, sistem informasi tidak mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pihak manajemen lembaga pendidikan dalam proses pembuatan keputusan karna tidak didukung oleh sistem informasi yang ada, dalam konsep sistem informasi pendidikan untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan akan membawa dampak terhadap strategi lembaga pendidikan, dampak yang dihasilkan adalah strategi lembaga pendidikan yang meragukan pengambil keputusan karna disusun berdarkan informasi yang terbatas dan ini lah sinergi negatif yang dihasilkan. 

Sedangkan sinergi negatif adalah sinergi antar sistem informasi yang disajikan dengan baik serta pemahaman strategi lembaga pendidikan yang menandai. Keduanya akan menghasilkan sebuah strategi lembaga pendidikan yang baik dan bisa dipertanggung jawabkan.

No comments for "Action Learning dalam Pendidikan"